Oleh Prof. Misri Gozan,Ketua Komite Eksekutif LAM TEKNIK – Persatuan Insinyur Indonesia
Guru Besar Universitas Indonesia
Bayangkan Anda seorang mahasiswa atau dosen di sebuah kampus kecil di daerah. Tiba-tiba kampus Anda kehilangan akreditasi karena sistem akreditasi nasional kolaps: antrean panjang, asesor tak kunjung datang, dan dana tidak tersedia.Ini bukan skenario fiksi. Ini bisa terjadi jika akreditasi program studi kembali ditarik sepenuhnya ke tangan negara, seperti zaman sebelum 2020.
Trauma ini masih melekat di ingatan banyak prodi maupun kampus. Padahal, sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Indonesia menata ulang sistem penjaminan mutu. Negara memang tetap hadir melalui BAN-PT, tetapi fokusnya hanya pada akreditasi institusi. Sementara untuk akreditasi program studi, negara mendorong hadirnya Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) yang lebih fokus, independen, dan sesuai dengan kekhasan ilmu.
Namun kini, muncul kembali wacana agar negara mengambil alih seluruh akreditasi, seperti masa lalu. Apakah ini solusi? Atau justru langkah mundur? Kejadian macetnya akreditasi bertahun-tahun bisa terulang lagi.
Akreditasi di Tangan Negara: Apa Positifnya?
Mari kita adil. Wacana ini lahir dari niat baik: agar tidak ada beban biaya akreditasi yang ditanggung oleh perguruan tinggi, apalagi yang swasta dan kecil. Dalam logika ini, jika negara yang membiayai, maka kampus bisa lebih fokus pada peningkatan mutu, bukan mengurus administrasi akreditasi. Kampus kecil merasa lebih didengar. Mahasiswa merasa lebih aman.
Lalu, negara juga dianggap bisa lebih cepat menyatukan standar mutu sesuai visi pendidikan nasional. Tidak perlu banyak lembaga, cukup satu tangan pemerintah yang mengatur semuanya.
Tapi, Ada Realitas yang Tak Bisa DiabaikanSayangnya, niat baik tidak selalu berbanding lurus dengan hasil baik.
Mari kita tinjau beberapa realitas berikut:
Langgar Undang-Undang
Menghapus atau menihilkan peran LAM berarti mengingkari UU 12/2012. Dalam Pasal 55, jelas disebutkan bahwa akreditasi program studi dilakukan oleh lembaga akreditasi yang independen dan diakui oleh pemerintah. Kembali ke sistem lama sama artinya mengingkari semangat reformasi mutu pendidikan tinggi.
Overload Institusi Negara
Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 4.500 perguruan tinggi dan lebih dari 31.000 program studi (data PDDIKTI 2023). Apakah masuk akal jika semuanya harus dinilai oleh satu lembaga negara, yakni BAN-PT, yang hanya punya maksimum 9 orang pengurus (total anggota Majelis Akreditasi maupun Dewan Eksekutif ) dan sekitar 40 staf? Belum lagi fakta bahwa BAN PT sepenuhnya masih bergantung dari kucuran dana pemerintah. Dulu sebelum 2020an, saat BAN-PT menangani semuanya, antrean panjang, backlog laporan, dan visitasi singkat ala “cepat saji” adalah cerita umum. Semua prodi dinilai berdasarkan instrumen yang sama pula. Kini, LAM-LAM hadir membawa spesialisasi, LAM Teknik untuk rekayasa, LAM Kependidikan untuk pendidikan, LAM PTKes untuk kesehatan, LAM INFOKOM untuk sistem informasi dan komputer, LAM EMBA untuk ekonomi, manajemen dan bisnis. Dan seterusnya..
Turunnya Independensi Penilaian
Jika akreditasi berada sepenuhnya di bawah negara, apakah mutu akan dijaga dengan objektif? Atau akan muncul tekanan politis, birokrasi yang rumit, bahkan potensi ketidakterbukaan publik? Penjaminan mutu memerlukan kebebasan berpikir, bukan semata-mata instrumen kontrol negara.Selain itu, LAM-LAM di Indonesia memiliki rujukan dan afiliasi dengan lembaga akreditasi internasional yang mensyaratkan dan mengawasi kemandirian serta independensi mereka. Hal ini memastikan bahwa proses akreditasi tetap objektif dan sesuai dengan standar global. Meskipun demikian, pengawasan oleh BAN-PT dan kementerian tetap dilakukan sebagai tanggung jawab negara untuk memastikan akuntabilitas dan kualitas pendidikan tinggi nasional.
Lihatlah Dunia: Apakah Negara Lain Berhasil?
Kita tidak hidup di ruang hampa. Mari tengok negara-negara yang memang mengelola akreditasi melalui pemerintah pusat. Prancis, misalnya. Di negara ini akreditasi dilakukan oleh Haut Conseil de l’évaluation de la recherche et de l’enseignement supérieur (atau High Council for the Evaluation of Research and Higher Education, disingkat HCERES). Ini lembaga independen, tapi dibiayai penuh oleh negara.Sistem pendidikan tinggi di Prancis memang sangat terpusat, hampir semua seragam mutunya dan jumlah institusinya pun jauh lebih sedikit dari Indonesia. Jadi memang isu akreditasi ini nyaris bukanlah hal yang cukup hangat untuk dibicarakan.Negeri Tiongkok yang dipimpin partai komunis jelas bersifat sentralistik dalam segala hal. Termasuk akreditasi, seluruh prosesnya dikendalikan oleh Kementerian Pendidikan. Namun, birokrasi mereka sangat besar dan budaya kontrol negara kuat. Budaya kontrol oleh negara ini menjadi kata kunci kesuksesannya. Vietnam dan Iran juga masih mengandalkan tangan kementerian untuk akreditasinya. Namun, efisiensi dan inovasi mereka sangat rendah dalam hal ini. Bahkan kini sebenarnya pemerintah Vietnam mulai mendorong akreditasi oleh multi-lembaga.National Center for Academic Accreditation and Assessment (NCAAA) yang beroperasi di Arab Saudi adalah badan akreditasi nasional yang memiliki dana besar dan profesional penuh waktu. Jelas ini bukanlah kondisi yang bisa dengan mudah direplikasi di Indonesia.
Kesimpulan dari benchmarking ini jelas: negara-negara tersebut berhasil karena mereka sangat terpusat, kuat secara anggaran, dan memiliki jumlah institusi yang lebih sedikit. Indonesia, dengan keberagamannya, geografinya, dan sistem otonomi daerah, tidak cocok menerapkan pendekatan sentralistis penuh.Sementara itu, negara-negara lain di dunia menyerahkan kepada lembaga yang sangat independen untuk akreditasi pendidikan tingginya.
Solusinya: Negara harus tetap hadir
Negara tetap harus hadir. Tapi kehadirannya bukan sebagai pemain, atau pelaksana langsung, melainkan sebagai pengatur, pengawas, dan penyedia insentif yang tepat sasaran. Pemerintah bisa menyubsidi akreditasi, terutama bagi kampus kecil dan prodi strategis dengan mekanisme yang luwes. Tapi pelaksanaan akreditasi tetap diberikan kepada LAM yang kompeten dan bertanggung jawab.BAN-PT tak perlu kembali ke masa lalu. Perannya jauh lebih strategis sebagai pengendali mutu institusi dan penilai kinerja LAM yang memang harus diawasi. Dalam hal ini BAN PT bisa berperan sebagai tangan negara.
Jangan Mundur Karena Nostalgia
Hasil studi LAM TEKNIK selama 3 tahun yang sudah diplublikasikan juga membuktikan bahwa terdapat gap kualitas yang menganga di wilayah barat, tengah dan timur tanah air. Hasil penelitian ilmiah ini telah didiseminasikan kepada para pengampu kepentingan seperti BAN PT, DIKTI, asosiasi profesi PII, para pimpinan asosiasi program studi, maupun kepada forum dekan ataupun direktur vokasi. Harapannya, LAM TEKNIK bersama negara, dapat bersama-sama mengatasi problem jurang kualitas pendidikan tinggi nasional ini.Mutu pendidikan tinggi bukan soal “siapa yang menilai,” tapi apakah sistemnya kredibel, adil, dan tangguh secara kelembagaan. Mari kita jaga semangat UU 12/2012. Kalau LAM masih ada kekurangan, mari kita benahi bersama.Tapi jangan sampai karena ingin hemat, kita justru menukar akreditasi yang profesional dengan sistem lama yang telah terbukti kewalahan.
Prof. Misri Gozan,Ketua Komite Eksekutif LAM TEKNIK – Persatuan Insinyur Indonesia
Guru Besar Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Pengasuh Pendidikan Dasar, Menengah dan Pesantren